«

Film: Antalogi Film Dokumenter Eagle Awards (2014)

»

1. Dolanan Kehidupan (Jogja)
Sutradara : Afina Fahru & Yopa Arfi

Film ini menceritakan kehidupan para pengrajin mainan tradisional di Bantul, Yogyakarta, Mbah Wiyar (78th) dan Mbah Karto (110th) adalah gambaran dari pembuat mainan tradisional yang sampai hari ini masih terus mengikhtiarkan diri untuk tetap membuat mainan tradisional sebagai upaya pelestarian. Di usia yang sudah tua, pengrajin mainan tradisional ini tetap memiliki semangat untuk bekerja dan menjaga keberadaan mainan tradisional, sebuah semangat dan tekat yang terbangun atas nilai-nilai kearifan lokal yang sudah tumbuh dan mengalir dalam nadi serta darah mereka.

Makna dari sebuah tembang tradisional jawa yaitu lir-ilir juga turut memberi warna dan pemaknaan hidup antara hubungan; manusia manusia, manusia -Tuhan, manusia - alam dan ruang lingkupnya. Bagi para lansia tersebut, selama mereka masih diberi kesehatan dan usia oleh Yang Maha Kuasa, maka selama itulah mereka akan terus berkarya dan berkontribusi pada kehidupan. Sebuah kolaborasi yang cukup berharga untuk kita pelajari, antara kemandirian dan nilai-nilai kearifan lokal.

2. Desainer Kampung (Magelang)
Sutradara : Amron Muhzawawi & M. Aprianto

Ratusan anak muda di Desa Kaliabu Kecamatan Salaman Kabupaten Magelang beralih profesi menjadi desainer grafis. Meski hanya belajar secara otodidak tapi karya mereka banyak dipakai perusahaan luar negeri. Salah satunya adalah Khoirul Muhibin atau Ibin, seorang buruh bangunan yang baru mengenal komputer sejak setahun lalu. Kegigihan dan kerja kerasnya berbuah manis, karya-karyanya disukai perusahaan luar negeri.

Kini, seperti anak-anak muda lainnya di daerah tersebut, kehidupan ekonomi Ibin pun merangkak naik. Dalam sebulan ia bisa meraup ribuan dollar dari kontes desain di internet. Ibin sukses meruntuhkan segala hambatan rintangan yang melingkupinya seperti keterbatasan fasilitas, ketiadaan pembimbing profesional, serta ketidakmampuannya berkomunikasi dalam bahasa inggris.

3. Di Tobong Bata (Lampung)
Sutradara : Mitahudin & Rolin Aditia F

Cerita tentang mimpi-mimpi sebuah band indie yang ingin lagunya dikenal, dimana para personil badn tersebut adalah sekelompok pemuda yang bekerja sebagai buruh batu bata, Arif Setiawan (23), Abdul Khoir (19), Muktar Kelana (19) tergabung dalam Khaya, band indie dari Lampung yang dapat membuktikan kreatifitas tidak mengenal keterbatasan. Menggunakan peralatan sederhana di Tobong Bata, tempat mereka bekerja, mereka merekam lagu- lagu mereka. Keterbatasan tersebut tidak menjadikan kreatifitas mereka ala kadarnya, melalui album keempat mereka menunjukkan eksistensi mereka bermusik. Dengan mengangkat kearifan lokal dengan menyuguhkan berbagai genre, serta kolaborasi alat musik tradisional, Khaya membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah hambatan.

4. Pekak Kukuruyuk (Bali)
Sutradara : AA. Bagus Kusuma Yudha & Ni Wayan Fairya

Perjalanan seorang pelestari tradisi tentu berbeda dari masyarakat yang hanya mengonsumsi tradisi itu semata. Terlebih di Bali, di tempat yang dimana budaya bertemu secara langsung dengan modernisasi. Akan ada banyak hal yang harus dinegosiasi jika menyangkut tradisi dan budaya yang hampir punah karena pengaruh modernisasi yang semakin mencengkram. I Made Taro, dikenal sebagai pelestari tradisi lisan Bali yang hampir punah. Lewat Sanggar Kukuruyuknya, Made Taro berjuang melestarikan tradisi lisan berupa dongeng, lagu dan permainan merupakan harta karun bagi anak-anak yang jarang bisa didapatkan di masa sekarang ini,bahkan, bagi sebagian orang mengganggap apa yang dilakukannya adalah sia-sia belaka. Tidak jarang Made Taro juga diremehkan. Disaat Made Taro meyakini apa yang dilakukannya adalah sebuah amanat, alam seakan mencoba bernegosiasi dengan kehidupannya. Naik turun perjalanannya seakan membuat Made Taro semakin mantap menapaki kegiatannya melestarikan tradisi lisan.

5. Lepo Lurun Untuk Dunia (NTT)
Sutradara : Milto Seran & Yovita Heni

Seorang perempuan Flores (desa Nita), Alfonsa Horeng berupaya melestarikan budaya tenun ikat Flores di tengah kondisi-kondisi keterbatasannya. Ia keluar masuk desa-desa di pedalaman Flores untuk memotivasi ibu-ibu dan berbagi pengalaman seputar ilmu menenun dengan ibu-ibu yang umumnya berusia di atas 35 tahun. Untuk tujuan itu, ia membangun komunitas LEPO LORUN (rumah tenun) yang meliputi desa-desa di empat kabupaten. Bersama ibu-ibu, Alfonsa meramu pewarna alami dari tumbuhan di sekitarnya, menanam kapas di lahan yang relatif terbatas untuk menghasilkan benang sendiri, dan mendokumentasikan motif-motif tenun ikat Flores agar tidak punah dan tidak mudah dijiplak serta melakukan regenerasi penenun. Ia berharap tenun ikat sebagai peradaban bangsa tetap lestari. Untuk itu, ia tak gentar menempuh jarak ratusan kilo meter untuk mendatangi kelompok-kelompok rintisannya. Ia mesti berhadapan dengan masalah perbaikan jalan dan akses komunikasi yang sulit. Itulah sebagian cerita di balik perjuangan dan kisah sukses Alfonsa Horeng melestarikan Tenun Ikat Flores serta memperkenalkan filosofinya hingga ke mancanegara.

Jenis Film Documentary
Tanggal Rilis: 14 September 2014
Negara Indonesia
Produksi Indonesia" href="https://layarfilm.com/distributor/eagle-institute-indonesia">Eagle Institute Indonesia, PT. Media Televisi Indonesia
Rating PG-13
Durasi 107 menit

Posters



Keyword: Aa. Bagus Kusuma Yu, Afina Fahru, Amron Muhzawawi, Bambang Hamid, Documentary, Eagle Institute Indonesia, Endah W Sulistianti, Indonesia, M. Aprianto, Mitahudin,



Komentar